MENJADI PENGHANTAR MASYARAKAT, DENGAN MENGUSUNG ASAS DEMOKRATISASI<<>>MEMBANTU MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG TRANSPARAN, YANG MENJUNJUNG NILAI NILAI ETIKA DAN MORAL<<>>MEMBANGUN KEPERCAYAAN MASYARAKAT, SEKALIGUS MENJADI MITRA PEMERINTAH DAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM,SEBAGAI BENTUK UPAYA PENEGAKAN PRINSIP 'EQUALITY BEFORE THE LAW'

2 Feb 2011

NASEHAT KEADILAN

Merenungkan Nasehat Keadilan al-Ghazali
LP3M ADIL INDONESIA
Abu Hamid al-Ghazali selain dikenal sebagai seorang sufi, dikenal juga sebagai ulama yang mempunyai perhatian besar terhadap masalah pemerintahan. Meskipun oleh sejumlah ulama seperti Munawir Sjadzali pemikirannya member ruang kediktaroran melalui ucapannya bahwa kekuasaan bersifat muqaddas, namun jika ditelusuri melalui sejumlah karyanya terutama Ihya `Ulum ald-Din, al-Tibar Masbuk fi Nashihah al-Muluk, dan sejumlah surat yang ia tulis khusus untuk penguasa ketika itu, penilaian Munawir Sjadzali tersebut sepertinya sulit diterima. Mengingat ia menekankan agar seorang penguasa menjauhi sifat serakah dan berperilaku kasar.
Dalam kitab, al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, al-Ghazali meriwayatkan tentang Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Khalifah yang dijuluki Umar II itu suatu ketika bertanya kepada Muhammad bin Ka`b al-Qurthubi. Dalam bahasa Indonesia, pertanyaan itu berbunyi, Tunjukkan bagaimana semestinya saya berbuat adil. Muhammad bin Ka`b al-Qurthubi kemudian menjawab dengan mengatakan, Setiap muslim yang lebih tua usianya dari kamu, jadikanlah sebagai anak, setiap muslim yang lebih muda dari kamu jadikanlah sebagai ayah, dan muslim yang seusia dengan kamu, jadikanlah saudara. Berikanlah hukuman kepada setiap pelaku kejahatan sesuai kejahatannya dan jangan sekali-kali memberikan hukum lantaran kamu tidak suka. Jika melakukan itu, nisacaya akan menyeretmu ke neraka.
Apa yang diinginkan al-Ghazali dengan pengutipan riwayat itu adalah bahwa seorang penguasa harus bersikap adil dan salah salah satu bentuknya adalah memperlakukan siapa saja sama dihadapannya, yaitu tidak menaruh hormat berlebihan kepada yang tua dan juga tidak meremehkan yang muda di mana jika itu terjadi, prilaku adil mestilah tidak bisa diwujudkan. Intinya, ia menginginkan bahwa seorang penguasa harus memperlakukan semua umatnya sama.
Maksud al-Ghazali tersebut kemudian ia tegaskan secara lebih jelas ketika ia menyebutkan sebuah momen ketika seorang zahid menemui seorang Khalifah. Ia mengatakan, Wahai Amirul Mukiminin, saya telah melakukan perjalanan ke negeri Cina dan ketika itu rajanya tuli. Saya mendengar bahwa ia suatu ketika berkata sambil menangis: Demi Tuhan, saya tidak menangis lantaran hilangnya pendengaran, melainkan karena telah mengabaikan seorang teraniaya yang meminta keadilan dari saya. Akan tetapi, saya tetap bersyukur, karena penglihatan saya masih baik. Lantas ia memerintahkan ajudannya agar menyebarkan pengumuman bahwa siapa saja yang telah mendapatkan perlakuan tidak adil agar memakai baju mirah. Kemudian, ia mengendarai unta berkeliling mencari warganya yang memakai baju mirah guna memberikan keadilan kepada mereka.
Setelah mengemukakan pengalamannya itu, si zahid kemudian berkata, Wahai Amirul Mukminin, berkacalah kepada upaya raja kafir tersebut ketika berusaha menegakkan keadilan. Dan, kamu seorang khalifah muslim dan masih kerabat Nabi semestinya lebih tahu bagaimana berbuat adil kepada umat Islam. Si zahid tersebut secara tidak langsung mengatakan bahwa seorang khalifah semestinya lebih bisa menegakkan keadilan terlebih ia masih mengaku kerabat Nabi.
Ungkapan zahid tersebut, sangat relevan untuk direnungkan oleh para pemimpin Indonesia yang mayoritas muslim. Pemimpin negeri ini sebagian besar mestilah beragama Islam di dalam setiap levelnya. Dan, jika merujuk kepada nasehat zahid itu, sudah pasti tahu bagaimana berbuat buat adil kepada orang-orang yang berada di bawah pimpinannya. Dikatakan lebih tahu, karena mereka mempunyai al-Quran dan hadits. Terlebih acara-acara kolosal keagamaan seperti maulid dan lain-lain rajin diperingati. Sudah semestinya, semua itu mengetuk hati dan nurani mereka untuk berbuat adil bukan karena diinspirasi oleh al-Quran dan hadits semata, tapi oleh peringatan hari-hari itu di mana sudah semestiinya dijadikan momentum untuk meneladani keadilan yang telah dicontohkan oleh Nabi, sahabat, dan al-sabiqun al-awwalun.
Masih dalam soal keadilan, al-Ghazali dalam sebuah suratnya kepada penguasa Saljuq, Sultan Sanjar menegaskan bahwa penguasa (amir) orang yang sanggup mengedalikan hawa nafsunya dan ketidakmampuan untuk mengekangnya adalah sumber dari sifat tamak dan ketika sifat itu muncul, maka ketidakadilan akan mengemuka. Oleh sebab itu, ia secara khusus menegaskan agar seorang penguasa menjauhi sifat tamak; tamak untuk memperkuat kekuasaan dan tamak untuk menimbun kekayaan. Dan, ketika sudah tidak ada kemampuan dalam diri penguasa untuk mengendalikan ketamakan, ketidakadilan sudah pasti akan menyeruak ke permukaan. Sebab, rakyat tidak lagi dijadikan sebagai pemberi amanah yang mesti dijalankan penguasa, tapi sebagai media untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan
Penulis adalah kandidat mahasiswa S3 UIN Jakarta. Sedang menulis disertasi tentang Kepemimpinan menurut al-Ghazali)Oleh Sahri-Harian Pelita

0 komentar:

Posting Komentar

DAFTARA SITUS PENGADUAN ONLINE