MENJADI PENGHANTAR MASYARAKAT, DENGAN MENGUSUNG ASAS DEMOKRATISASI<<>>MEMBANTU MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG TRANSPARAN, YANG MENJUNJUNG NILAI NILAI ETIKA DAN MORAL<<>>MEMBANGUN KEPERCAYAAN MASYARAKAT, SEKALIGUS MENJADI MITRA PEMERINTAH DAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM,SEBAGAI BENTUK UPAYA PENEGAKAN PRINSIP 'EQUALITY BEFORE THE LAW'

26 Jun 2012

Kebenaran: sebuah kebahagiaan yang menyakitkan

Sejak zaman dahulu kala, pencarian akan kebenaran selalu menjadi tema sentral dalam perjalanan hidup manusia untuk mencari makna kehidupan. Pertarungan antara kebenaran dan kebatilan juga selalu menjadi topik yang menarik dalam berbagai cerita yang disampaikan para penutur kisah, bahkan hingga saat ini. Dan ketika kebenaran bertarung dengan kebatilan, sebagaimana layaknya di film-film, kebenaran pastilah (selalu) menjadi pemenangnya. Siapa saja pasti setuju apabila kebenaranlah yang muncul sebagai pemenang, karena apabila manusia masih berfikir sehat, maka kebenaran memang pantas untuk dimenangkan. Bukan hanya karena kebenaran terlihat lebih indah jika dipasang sebagai moto kampanye “Demi Kebenaran!” (masa ada sih yang mau mengusung moto: “Demi Kebatilan!” ?... aneh aja kayaknya) tapi juga karena apabila mau jujur, siapa pun tau bahwa hanya dengan kebenaranlah manusia akan dapat memiliki kebahagiaan yang sempurna. Dan ketika harus memilih antara kebenaran dan kebatilan, sebagian besar orang pun pasti akan menjawab akan memilih kebenaran (meski tidak berarti bahwa mereka semua akan berbuat berdasarkan kebenaran). 

Namun dewasa ini sepertinya kebenaran dan kebatilan semakin berada pada wilayah abu-abu yang membuat keduanya menjadi sulit dibedakan, sehingga untuk memilah yang benar dan yang batil menjadi perkara yang semakin tidak gampang. Bahkan bukan hanya persoalan memilih kebenaran dan kebatilan yang menjadi semakin sulit, tapi pertarungan dan upaya untuk menegakkan kebenaran pun menjadi lebih bermasalah lagi. Karena ketika batas antara batas antara benar dan salah telah begitu kabur, akanlah sulit untuk menentukan siapa bertarung melawan siapa dan apa yang harus dipertarungkan. Sebenarnya sejak dari zaman dahulu kala pun yang namanya pertempuran antara kebenaran dan kebatilan memang tidak pernah mudah. Begitu pula dengan persoalan menentukan apa yang disebut dengan kebenaran, adalah perkara yang sulit dan membingungkan. Bahkan sampai sekarang, mereka mereka yang menyebut dirinya sebagai “pemikir yang mencintai kebenaran” pun belum menemukan kata sepakat untuk mendefinisikan apa itu kebenaran. Definisi yang paling umum dari kamus yang ada menyebutkan bahwa kebenaran adalah kesepakatan atas fakta atau realita. Tapi sepertinya taklah mungkin kebenaran adalah hasil kesepakatan. Karena apabila demikian adanya, lantas kebenaran akan menjadi begitu berbeda-beda dan sangat subjektif karena tergantung pada subjek yang menyepakatinya. Sangatlah aneh sepertinya ketika kebenaran berbeda-beda, karena apabila sesuatu dikatakan benar, maka selain itu pastilah namanya kesalahan, kebatilan atau ketidakbenaran, sebagaimana apabila tidak terang, pastilah namanya gelap. 

Tapi mungkin ada yang berargumentasi bahwa kebenaran dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda beda. Tapi lagi, bukankah itu sama saja artinya dengan menyebut bahwa orang-orang buta yang menebak gajah, mereka semuanya adalah benar, karena masing-masing “melihat” (maksudnya meraba) dari sudutnya masing-masing? Di samping itu, ketika kebenaran diletakkan pada keingingan dan persetujuan bersama dari sekelompok orang tertentu, kebenaran dapat berarti apa saja asal semua orang dalam kelompok itu menyepakatinya. Kebenaran bukan lagi menjadi hal yang pasti, karena ketika kesepakatan yang menjadi substansi maka ia pun pada akhirnya tak lebih dari komoditi yang dapat dijual beli dan bergantung pada harga transaksi. Dan lebih bahaya lagi, bisa saja orang-orang tersebut sepakat untuk meletakkan kebenaran sebagai sesuatu yang salah atau batil dan kebatilan sebagai sesuatu yang benar. Maka kacau balaulah pasti jadinya. Mungkin ada yang menganggap bahwa hal seperti itu tidak mungkin terjadi, karena, seperti di awal tadi dikatakan, bahwa apabila mau jujur, siapa pun tau bahwa hanya dengan kebenaranlah manusia akan dapat memiliki kebahagiaan yang sempurna, sehingga secara umum manusia pasti akan bersepakat untuk kebenaran. Namun ternyata semakin hari populasi orang jujur semakin berkurang dan bahkan terancam punah. Dan pada saat orang-orang jujur itu telah menjadi begitu langkanya, maka ketika mereka berusaha berjuang dan memberanikan diri untuk menyuarakan kebenaran, sekelilingnya pun akan menganggap betapa anehnya mereka. Lalu mereka pun akhirnya disisihkan, dikucilkan, disalahkan, dihukum, dan tak jarang pula... dibunuh. Upaya menemukan kebenaran memang merupakan hal sulit, namun adalah hal yang lebih sulit lagi ketika seseorang berusaha menyuarakan dan memperjuangkannya. 

Sejak dari zaman dahulu kala pun sejarah telah mencatat betapa perjuangan para pencari dan pembela kebenaran tidak hanya mengorbankan kekayaan dan kedudukan juga harga diri mereka namun juga hidup mereka dan bahkan hidup orang-orang yang mereka cintai. Maulana Jalaluddin Rumi pernah berkata bahwa hanya cinta yang dapat memahami rahasia kebenaran. Sebagaimana orang yang jatuh cinta, upaya menemukan dan membela kebenaran pun selalu penuh dengan rasa kesakitan. Lihat saja mereka yang jatuh cinta (atau ingat-ingatlah ketika pernah jatuh cinta). Dada terasa sangat sesak seperti terhimpit oleh perasaan yang begitu dalam, fikiran menjadi kacau karena ia yang dicintai seakan memenuhi ruang angan, mulut pun terasa hambar sehingga makanan lezatpun tak mampu memuaskan, diri merasa sepi meskipun berada di keramaian apabila ia yang tercinta jauh dari pandangan. Belum lagi apabila ia yang dicinta ternyata tak memberi balasan seperti yang diharapkan. Ahh... diri pun seakan terasa seperti hancur berantakan dan seluruh dunia akan tampak begitu suram. Begitu pula adanya ketika seseorang benar-benar menyerahkan diri sepenuhnya dalam perjalanan mencari dan membela kebenaran. Maka hidupnya pun akan menjadi sulit dan tak mengenakkan. 

Sehingga wajarlah apabila para pencari dan pembela kebenaran semakin langka adanya. Namun, seperti yang telah disebutkan tadi, dan semua orang pun telah tau, hanya dan hanya dengan kebenaran saja manusia dapat mencapai kebahagiaan yang sempurna. Sehingga tak ada jalan lain, kebenaran memang harus dicari dan diperjuangkan. "Demi Kebenaran!" 
(@) Kebenaran akan membebaskanmu, namun sebelumnya akan membuatmu kecewa dan sengasara. (Gloria Steinem) 
Copy By Pitrajaya

0 komentar:

Posting Komentar

DAFTARA SITUS PENGADUAN ONLINE